Pikiran itu muncul lagi. Dan semakin hari semakin jelas. “Aku pasti bisa!” Itu yang kukatakan kepada diriku sendiri. “Aku berhak! Setelah apa yang dia lakukan selama ini, aku berhak! Dan aku bisa!” Kalimat-kalimat itu benar adanya. Mulai tujuh bulan yang lalu aku sudah memegang kendali akan uangku lagi. Aku sudah mendapatkan pekerjaan baru yang membuatku […]
‘Dengerin gua!’ Dia memang menatapku. Dia mendengarkanku. Tapi aku benci muka sabarnya. Muka yang tidak bergairah hidup! Muka laki-laki yang tidak pernah ada sparks-nya. Laki-laki yang pasrah. Laki-laki yang lemah! ‘Gua boseeeennn gini gini teruuus. Gak ada variasi idup. Pulang kerja gua balik rumah nyiapin makanan buat elo. Buat perut elooo!!!’ Aku menunjuk-nunjuk perut buncitnya. […]
Agustus 2011 “Bon, yakin lo?” “Uda lah, Ter. Buat gua ini bukan masalah keyakinan lagi. Gua emang sampe sekarang nggak yakin. Cuman ya,…gimana lagi? Sian si Tommy.” Terra menatap Bonbon dan dia merasa tambah kasian tiap harinya. “Kapan lo mau kesana?” “Secepatnya. Telepon dia gih.” Terra mengangkat teleponnya dan Bonbon menyruput kopi paitnya. “Halo….?” […]
In an instant I felt that the cold ground I sat on cracked a little then got slightly bigger. I stood up like a mad man and watched the abrupt lines decentred from where I was standing. Then one of the tiny powerful line literally chased me and I had to run as quickly […]
I’m a ghost. It doesn’t take the genius in me or the load of surprise to know that I’m already dead. To be honest with you, I had been looking forward to it. I know someone—if you can use “one” for a ghost—who was looking forward to it as well. It’s my girlfriend. She died […]
Ada tiga boneka di lukisan itu. Dan tentu saja itu menjelaskan kenapa judulnya adalah tiga boneka. Boneka pertama adalah seekor bajing. Warnanya bulunya hitam. Matanya dibuat licik. Dua lingkaran di dalamnya sangat gelap dan menatap tajam. Hidungnya kecil dan digambarkan basah dengan cat hitam yang sedikit bercampur dengan abu-abu. Seolah-olah si bajing mengendus-endus yang melihatnya. […]
This is the last part of PENARI. Arianna sudah berada di belakang panggung. Tidak seperti biasanya, dia merasa kesadarannya tidak mau berkompromi dengan apa yang dia inginkan. Seolah-olah pikirannya bukan menjadi sapu lidi, tetapi menjadi masing-masing lidi yang tidak terikat. Dan parahnya..,ujung-ujungnya yang tajam saling bermain anggar. Arianna tidak tahu ujung yang mana yang berkuasa. […]
Penari–part 1 Penari–part 2 Damar dan Arianna seolah duduk berdampingan melihat kilatan adegan-adegan yang tiba-tiba muncul di depan mata mereka: Arianna sedang berada di ruang latihan. Arianna berkeringat dan badannya merasa kelelahan tingkat tinggi. Tetapi hatinya seolah berkata ‘Terus! Terus!’ Arianna menyeka keringatnya. Badannya meliuk lagi. Sekilas dia bersenggolan dengan penari lain. Badannya terguncang dan […]
(Writer’s note: This is the continuation of PENARI-part 1) Ada sedikit pertentangan di hati Arianna. Bukan tentang apakah dia akan melakukan rencananya. Tapi tentang bagaimana menyakinkan Dasa supaya dia setuju untuk menijinkannya cuti barang sehari sementara itu hanya ada satu hari lagi latihan. Apakah dia harus berusaha meyakinkan Dasa untuk membebaskannya di hari terakhir persiapan […]
Acara besar itu hanya dua hari lagi. Semua orang yang terlibat di dalamnya sudah semakin sibuk. Yang mempersiapkan alat-alat dan dekorasi sudah mulai mendapatkan pesanan mereka. Yang mengurusi makanan sudah memulai dulu untuk resep-resep yang harus melewati semalam dalam panci. Yang dulu menyebar undangan sudah mulai merancang tempat duduk untuk para orang yang akan datang. […]